Perlawanan
jutaan masyarakat Mesir selama 18 hari (25/1 – 7/2/2011) berhasil menumbangkan
rezim Mubarak yang telah berkuasa sekitar 30 tahun. Masyarakat Mesir menyebut
demonstrasi yang meluap di seantero negeri 1000 menara yang merenggut sekitar
300 nyawa itu dengan “revolusi masyarakat’.
Sebenarnya,
revolusi yang terjadi di Mesir dan sebelumnya di Tunisia dan 13 tahun yang lalu
terjadi hal yang sama di Indonesia memiliki sisi kesamaan dan perbedaan. Di
antara kesamaanya, penguasa yang ditumbangkan adalah sama-sama penguasa zalim,
korup dan menerapkan sistem diktator terhadap rakyatnya.
Kekuasaan
mereka berkisar 30 tahunan. Baik Mesir, Tunisia maupun Indonesia adalah
sama-sama negeri yang berpenduduk Muslim mayoritas. Cara tumbangnya penguasa di
tiga negara tersebut sama, yakni disebabkan pemberontakan jutaan rakyat yang
sudah muak dengan kezaliman yang mereka hadapi berpuluh-puluh tahun lamanya.
Gagasan awal
perlawanan sama-sama dimotori oleh pemuda dan mahasiswa, kemudian para
cendikiawan, profesional dan tokoh masyarakat nimbrung untuk melegetimasi
perlawanan tersebut sehingga menjadi kuat dan membuat penguasa ciut dan
ketakutan yang luar biasa.
Adapun sisi
perbedaannya ialah, di Indonesia dan Tunisia, demonstrasi besar-besaran yang
menyebabkan penguasa dua negera tersebut menyerah hanya beberapa hari saja.
Sedangkan di Mesir cukup alot sehinggga mencapai 18 hari.
Sisi
perbedaan lain, Indonesi dan Tunisa tidak berbatas langsung dengan Palestina,
sendangkan Mesir memiliki perbatasan langsung dengan Palestina, khususnya Jalur
Gaza. Secara historis, Indonesia dan Tunisia tidak pernah terlibat langsung
konflik dengan Yahudi di Palestina, sedangkan Mesir pernah terlibat perang
dengan Yahudi di Palestina tahun 1948 dan 1967.
Demikian
juga, Indonesi dan Tunisia tidak terlibat kontrak perdamaian secara langsung
dengan Yahudi di Palestina, sedangkan Mesir tahun 1970 menandatangani
perjanjian damai dengan Yahudi Palestina yang diwakili Anwar Sadat sebagai
Presiden Mesir saat itu yang terkenal dengan perjanjian Came David. Mesir
sampai hari ini masih terkenal dengan pusat studi Islam dan juga pusat
pergerakan Islam yang terkenal dengan gerakan Ikhwanul Musliminnya.
Apa yang
terjadi di Mesir?
Sepintas,
apa yang terjadi di Mesir adalah sebuah perubahan besar-besaran dalam sistem
pemerintahannya. Dari sistem yang sangat zalim dan diktator menjadi sistem
demokratis.
Bagi
kelompok yang berorientasi kebebasan dan kesejahteraan ekonomi, apa yang
terjadi di negeri mereka mungkin akan menjadi pintu gerbang memasuki apa yang
mereka cita-citakan.
Lihat saja
semboyan dan jargon yang mereka angkat seperti, yang penting Mubarok lengser,
kami rindu kebebasan, Mubarok hengkang dari negeri ini, tegakkan masyarakat
madani dan ratusan jargon lainnya.
Sesungguhnya
apa yang terjadi di Mesir mirip dengan apa yang terjadi di Indonesia tahun
1998. Mayoritas masyarakat yang menghendaki pergantian kekuasaan tidak lain
disebabkan kezaliman politik dan tindakan kejahatan ekonomi yang dilakukan
rezim dan kroninya yang menyebabkan ekonomi negeri menjadi bangkrut.
Kebangkrutan
ekonomi ditandai dengan meningkatnya jumlah masyarakat miskin, pengangguran dan
merosotnya nilai tukar mata uang. Solusi yang digaungkan juga sama, yakni
kebebasan dan kesejahteraan rakyat berdasarkan sistem demokrasi Barat.
Bentuk masyarakat
yang dicita-citakan pasca reformasi adalah masyarakat madani. Masyarakat
madaninya seperti apa? Para elite politik dan tokoh masyarakat juga tidak
memiliki konsep dan manhaj yang jelas dan sama.
Ada yang
mengatakan masyarakat madani itu ialah masyarakat yang dipimpin oleh kalangan
sipil dan bukan militer seperti yang terajadi sebelumnya. Ada lagi yang
menafsirkan, masyarakat madani ialah yang sistem hidup dan pemerintahannya
mengambil nilai-nilai kemanusiaan dan agama yang bersifat moral dan universal.
Pertanyaan
berikutnya ialah, apa yang dicapai reformasi yang sudah berusia 13 tahun itu?
Benarkah kebebasan itu terwujud? Ya, jika dilihat dari munculnya puluhan partai
politik yang sebelumnya hanya dibolehkan tiga saja (Golkar, PDI dan PPP),
maraknya korupsi, perdagangan narkoba, pergaulan bebas (hedonisme), money
politic dalam politik praktis dalam semua tingkatan politik praktis, media
massa yang kebablasan, penyebaran kemusyrikan dan kemungkaran lainnya serta
kebebasan berbagai aliran sesat yang nyata-nyata merugikan umat Islam seperti
Ahmadiyah dan sebagainya.
Namun, dalam
kaca mata sebagian umat Islam, di zaman reformasi ini belum ada yang namanya
kebebasan.
Buktinya,
penangkapan dan penembakan secara serampangan terhadap umat Islam yang dicurigai
melakukan tindakan terorisme (definisi terorisme juga kabur dan ngawur) dan
ulama serta kelompok yang menyerukan diterapkannya Syariat Islam secara utuh
dan konsisten, khususnya oleh masyarakat Muslim yang mayoritas di negeri ini,
maka kebebasan itu masih jauh panggang dari api.
Begitu juga
kesejahteraan rakyat yang diteriakkan saat reformasi dan setiap saat dijanjikan
pemerintah hanya tinggal kenangan. Yang sejahtera saat ini hanyalah para
politisi dan elite-elite partai politik serta pejabat-pejabat negara yang
menadapat kewenangan memenej dana samapi 1000 trliun pertahun yang menurut para
ahli dikorupsi sampai 70 %. Belum lagi korupsi liar versi Gayus Tambunan yang
menggurita di semua instansi pemerintahan.
Bagaimana
dengan peran gerakan-gerakan Islam yang sebelum reformasi di Indonesia
menyuarakan kebenaran, keadilan, tegaknya syari’at Islam dan sebagainya?
Semuanya, tanpa kecuali, mati suri dan sudah larut dalam kenikmatan permainan
politik praktis yang menghasilkan uang dan fasilitas hidup yang berlimpah.
Gerakan-gerakan
Islam politik zaman reformasi benar-benar berhasil menyingkirkan Islam dari
pentas dan percaturan kehidupan tingkat tinggi pemerintahan, bukan hanya
esensinya melainkan terminologi-terminologi Islampun sudah tidak lagi dijadikan
bahasa pergaulan, kecuali yang terkait dengan kepentingan polotik praktis yang
menghasilkan uang.
Salah
seorang mantan petinggi pejabat pemerintahan berkisah kepada penulis bagaimana
elite partainya setengah memaksa agar disiaipkan uang milyaran rupiah agar ia dapat
dicalonkan partainya menjadi calon elite pemerintahan. Sistem drakula. Itulah
yang tepat menggambarkan situasi yang sedang berjalan di Indonesia.
Akibat dari
kegagalan pemerintah mewujudkan kebebasan dan kesejahteraan rakyat yang
diharapkan saat melakukan gerakan reformasi 13 tahun lalu, ditambah lagi dengan
perilaku pejabat negara dan para politisi yang jauh dari bersih, tidak memiliki
sense of crisis dan bahkan tanpa malu saat digelandang KPK atau penegak hukum
lainnya ketika terbukti melakukan korupsi, mabuk-mabukan di tempat-tempat
hiburan dan sebagainya, maka hampir separuh masyarakat Indonesia sudah
kehilangan kepercayaan. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam Pemilu 2009 dan
beberapa Pemilukada belakangan ini adalah bukti kuat atas apa yang dijelaskan.
Masa depan
Mesir
Berdasarkan
kesamaan fenomena reformasi Indonesia dengan revolusi Mesir sekarang ini
penulis meyakini masa depan Mesir tidak akan jauh berbeda dengan Indonesia.
Perubahan yang terjadi di Mesir hanya konstitusional yang bersifat kertas dan
tidak akan menyentuh hal-hal mendasar dalam kehidupan mayarakat Mesir yang
berpenduduk Muslim mayoritas dan hanya akan menguntungkan para tokoh aktivis
revolusi dan partai-partai poltik yang dengan sukarela menganut paham demokrasi
titipan Barat. Hal tersebut paling tidak disebabkan dua faktor :
- Faktor internal. Yakni mayoritas masyarakat Mesir masih berjuang dalam tataran (masalah) perut dan tidak dalam kontek ideologis, khususnya ideologi Islam. Hal tersebut sebagai bukti nyata betapa lemahnya pengaruh gerakan-gerakan Islam dalam masyarakat Mesir, khususnya Ikhwanul Muslimin yang telah berusia hampir 84 tahun. Kelemahan pengaruh tersebut bisa disebabkan kurang efektifnya gerakan dakwah dalam menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai Islam orisinil dalam masyarakat, atau bisa juga disebabkan terjadinya degradasi pemikiran gerakan Islam, khususnya Ikhwanul Mislimin dari apa yang dirumuskan pendidrinya, Hasan Al-Banna dan tokoh-tokoh besar Ikhawan setelah beliau sepertti Sayyid Qutb, Abdul Qadir Audah dan sebagainya.
- Faktor eksternal. Karena Mesir itu terkenal dengan historis kejayaan Islamnya sejak sahabat Amr bin ‘Ash menaklukkan negeri Pyramid tersebut, diteruskan Sholahuddin Al-Ayubi dan kemudian Hasan Al-Banna dan Sayyid Qutbnya, maka seluruh kekuatan Yahudi yang sekarang dijalankan skenarionya oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutinya, baik di Barat maupun di negera-negara Arab sendiri, akan bekerja keras bagaimana revolusi rakyat Mesir yang dimulai 25 Januari 2011 itu ditelikung dan dibelokkan agar tidak menjadi revolusi Islam, bahkan berbau-bau Islampun tidak.
- Dari 200 anggota revolusi yang mereka namakan “majlis hukama” tidak satupun yang menyuarakan semboyan kembali kepada Islam, termasuk tokoh-tokoh Islam yang ada di dalamnya seperti Huwaidi dan Uwa. Semuanya sepakat menyuarkan demokrasi, kemaslahatan nasional dan masyarakat madani. Bahakan kelompk Ikhwan yang jelas-jealas keislamannya 24 karat, juga tidak berani mengususlkan secara tegas keharusan berdirinya sistem pemerintahan Islam di atas puing-puing pemerintahan zalim Mubarok yang telah memporak-porandakan seluruh basis kehidupan masyarakat Mesir yang mayoritas Muslim itu. Mana semboyannya : Islam adalah solusi?
- Hal lain, karena Mesir berbatasan langsung dengan Palestina, khususnya Jalur Gaza di mana di sana dikuasai Hamas yang dengan berani mendeklarasikan ke seluruh dunia bahwa mereka adalah bagian dari Ikhwanul Muslimin dan penerus generasi Al-Banna, maka faktor ini juga menyebabkan seluruh kekuatan anti Islam baik di luar Mesir maupun di dalamnya bekerja keras untuk memetik hasil revolusi rakyat Mesir itu dan membelokkannya kepada selain Islam. Sebab, kalau revolusi itu melahirkan sistem pemerintahan Islam di Mesir, dapat diprediksikan umur Yahudi di Palestina tinggal menghitung hari.
Dari apa
yang diuraikan di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa perjalanan dakwah
untuk mengembalikan kejayaan dan kemuliaan umat masih jauh. Sebab itu, mari
berdakwah dengan lebih baik, sambil belajar dari kelemahan dan kesalahan yang
terjadi.
Sesunguhnya
kemenangan dunia dalam bentuk pengusaan pemerintahan bukanlah tujuan akhir
gerakan dakwah. Tujuan akhir tetap saja Allah. Kemenangan itu hanya di tangan
Allah. Ia akan berikan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Wama dzalika
‘alallahi bi ‘aziz.